Topik kali ini sangat penting untuk dibahas, sebab sepertinya masih banyak kaum wanita yang belum benar-benar memahami tentang hal ini.
"Jika ada wanita haid, kemudian dia suci di
waktu Ashar, apakah dia wajib mengqadha shalat Zhuhur atau tidak?"
Atau begini:
"Jika ia sudah suci di waktu Isya, apakah dia wajib mengqadha shalat Maghribnya?”
Mengapa hal ini perlu dibahas? Bukankah masing-masing shalat memiliki waktunya sendiri?
Para ulama memandang 2 waktu ini (Zhuhur dan Ashar; Maghrib dan
Isya) memiliki keterkaitan dalam waktu, atau dalam istilah fiqih
disebut dengan "tadaruk al-waqt”. Dimana dua pasang waktu ini bisa digabung dalam shalat jamak. Yakni jamak taqdim dan ta’khir.
Dalam masalah wajibnya qadha Zhuhur/Maghrib saat wanita suci di
waktu Ashar/Isya ini para ulama berbeda pendapat. Sebagian dari mereka
masih mewajibkan dengan sebab adanya "tadaruk al-waqt" antara Zhuhur
dengan Ashar. Tetapi sebagian ulama lainnya tidak memandang demikian.
Berikut rincianyna:
1. Madzhab Hanafi
Madzhab Hanafi tidak menyebutkan secara jelas apakah harus mengqadha Zhuhur dan Maghrib jika terlewat atau tidak, akan tetapi madzhab ini hanya menyebutkan keumuman tidak wajibnya mengqadha shalat bagi wanita haid atas shalat-shalat yang ia tinggalkan selama masa haidnya berlangsung.
As-Sarakhsi (wafat tahun 483 H) salah satu ulama madzhab Hanafi di dalam kitabnya Al-Mabsuth menuliskan sebagai berikut:
فَإِذَا طَهُرَتْ قَضَتْ أَيَّامَ الصَّوْمِ وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ
"Dan jika dia (wanita haid) sudah suci, maka wajib baginya
mengganti puasa (puasa wajib yang terlewat) dan tidak ada kewajiban
atasnya mengganti shalat (yang terlewat)."
2. Madzhab Maliki
Para ulama madzhab Maliki sepakat bahwa jika seorang perempuan suci di sore hari, yakni di akhir waktu Zhuhur menjelang Ashar. Jika masih ada waktu yang sekiranya cukup untuk mengerjakan kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya mengerjakan shalat Zhuhur, dan kemudian melaksanakan shalat Ashar setelah masuk waktunya.Akan tetapi jika waktu yang tersisa di sore itu hanya cukup untuk mengerjakan kira-kira 4 rakaat atau kurang dari itu, maka baginya hanya wajib mengerjakan shalat Ashar tanpa mengerjakan shalat Zhuhur. Karena waktunya dianggap sudah berlalu.
Ibn al-Jallab (wafat tahun 378 H) salah seorang ulama madzhab Maliki dalam kitab At-Tafri’ fi Fiqhil Imam Malik bin Anas menuliskan sebagai berikut:
وليس على الحائض قضاء ما فات وقته من الصلوات، وعليها أن تصلي ما أدركت وقته من الصلوات. فإن أدركت أول الوقت وجب عليها الأداء، وإن أدركت آخره فكذلك أيضًا، وذلك إذا تطهرت من حيضتها، وقد بقي عليها من النهار قدر خمس ركعات، فيجب عليها أن تصلي الظهر والعصر لإدراكها آخر وقتها. وإن كان الذي بقي عليها من النهار قدر أربع ركعات أو ما دونهن إلى ركعة واحدة، صلت العصر لإدراكها آخر وقتها، وسقط الظهر عنها لفوات وقتها
"Tidak ada kewajiban bagi seorang wanita mengqadha shalat yang terlewat, kewajibannya hanya melaksanakan shalat pada waktunya. Jika dia suci di awal waktu shalat maka wajib mengerjakan shalat itu, begitupun jika dia suci di akhir waktu shalat. Dan hal itu terjadi jika ia suci di siang hari (akhir waktu Zhuhur), dan masih ada waktu shalat kira-kira 5 rakaat, maka wajib baginya shalat Zhuhur, begitu juga shalat Ashar, karena dia masih masuk dalam waktu shalat (Zhuhur). Dan jika waktu yang tersisa di siang hari itu hanya cukup untuk mengerjakan shalat 4 rakaat atau kurang, maka dia hanya wajib shalat Ashar karena hanya mendapati akhir waktu Zhuhur (menjelang Ashar) dan gugur kewajiban shalat Zhuhur karna waktunya sudah lewat."
Ats- Tsa’labi (wafat tahun 422 H) salah satu ulama madzhab Maliki di dalam kitab Al- Ma’unah ala Mazhabi ’Alimil Madinah menuliskan sebagai berikut :
فلو طهرت الحائض وبلغ الصبي لقدر خمس ركعات، فإلى أن تطهر وتلبس وبقي عليه قدر ركعة كان عليه العصر دون الظهر
"Jika (di akhir waktu Zhuhur) seorang wanita telah suci dari haid,
dan anak yang baru saja baligh mendapati waktunya masih cukup untuk
shalat selama 5 rakaat, maka wajib baginya Zhuhur dan kemudian Ashar.
Namun jika waktu yang tersisa hanya cukup untuk mengerjakan 1 rakaat,
maka wajib baginya shalat Ashar tanpa shalat Zhuhur."
3. Madzhab Syafi’i
Ulama dari madzhab Syafi’imengatakan, jika seorang wanita yang suci dari haid dan masih ada waktu sore (secara mutlak, tidak membatasi sisa waktunya) maka wajib baginya mengganti shalat Zhuhur dan melaksanakan shalat Ashar.
Imam Al-Haramain (wafat tahun 478 H) salah satu ulama dalam madzhab Syafi'i di dalam kitabnya Nihayatul Mathlab fi Diraayatil Mazhab menuliskan sebagai berikut :
ثم يتفق انقطاعُ الحيض في آخر النهار، فيجب قضاءُ الظهر مع العصر
"Kemudian mereka (ulama madzhab Syafi'i) sepakat jika darah haid
sudah berhenti di akhir siang hari, maka wajib baginya qadha shalat Zhuhur dan Ashar."
4. Madzhab Hanbali
Dalam permasalahan ini, ulama madzhab Hanbai dengan jelas mengatakan kewajiban bagi seorang wanita mengganti shalat Zhuhur/Maghrib dan melaksanakan Ashar/ isya’ walaupun waktu yang tersisa dari waktu shalat tersebut hanya sebentar.
Ibnu Qudamah (wafat 620 H) salah satu ulama dari kalangan madzhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :
ولنا ما روى الأثرم، وابن المنذر،
وغيرهما، بإسنادهم عن عبد الرحمن بن عوف، وعبد الله بن عباس، أنهما قالا في
الحائض تطهر قبل طلوع الفجر بركعة تصلي المغرب والعشاء، فإذا طهرت قبل أن
تغرب الشمس، صلت الظهر والعصر جميعا
"Dalam mazhab kami (Hanbali), seperti apa yang diriwayatkan Al-Atsram, dan Ibnu Mundzir, dari yang lainnya dengan sanad dari Abdurrahman bin 'Auf, dan Abdullah ibnu Abbas, dalam masalah haid. Jika ia bersuci sebelum terbit fajar (akhir waktu isya) masih ada waktu satu rakaat: maka baginya shalat Maghrib dan Isya, dan apabila suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar), maka baginya menjama' shalat Zhuhur dan Ashar.
Ibnu Taimiyah (wafat tahun 728 H) salah satu ulama madzhab Hanbali abilah di dalam kitabnya Majmu' Fatawa menuliskan sebagai berikut:
وَلِهَذَا قَالَ الصَّحَابَةُ
كَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَغَيْرِهِ: إنَّ الْمَرْأَةَ الْحَائِضَ
إذَا طَهُرَتْ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ
وَالْعِشَاءَ. وَإِذَا طَهُرَتْ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ صَلَّتْ
الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
"Seorang wanita yang haid ketika sudah suci sebelum fajar (akhir waktu Isya', sebelum masuk Shubuh), maka ia wajib shalat Maghrib dan Isya. Dan apabila ia suci sebelum terbenamnya matahari (akhir waktu ashar sebelum masuk Maghib), maka wajib baginya shalat Zhuhur dan Ashar."
Al-Mardawi (wafat tahun 885 H) salah satu ulama madzhab Hanbali di dalam kitabnya Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf menuliskan sebagai berikut:
قَوْلُهُ (وَإِنْ بَلَغَ صَبِيٌّ،
أَوْ أَسْلَمَ كَافِرٌ، أَوْ أَفَاقَ مَجْنُونٌ، أَوْ طَهُرَتْ حَائِضٌ
قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ بِقَدْرِ تَكْبِيرَةٍ: لَزِمَهُمْ الصُّبْحُ،
وَإِنْ كَانَ ذَلِكَ قَبْلَ غُرُوبِ الشَّمْسِ: لَزِمَهُمْ الظُّهْرُ
وَالْعَصْرُ، وَإِنْ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: لَزِمَهُمْ
الْمَغْرِبُ وَالْعِشَاءُ)
"Apabila seorang anak kecil telah baligh, orang kafir masuk islam, orang gila menjadi sadar, atau wanita yang haid itu suci sebelum terbitnya matahari maka mereka wajib shalat subuh, tapi jika kejadiannya sebelum matahari terbenam maka mereka wajib shalat Zhuhur dan Ashar, dan kalau kejadiannya sebelum terbit fajar maka mereka wajib menunaikan shalat Maghrib dan Isya."
Kesimpulan
Dari uraian para ulama dari empat madzhab di atas, maka kita pahami bahwa para ulama dari madzhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat adanya kewajiban mengqadha shalat Zhuhur bagi wanita haid yang suci di waktu Ashar. Begitu juga wajibnya mengqadha shalat Maghrib bagi ia yang suci di waktu Isya. Hanya saja masing-masing agak sedikit berbeda terkait waktunya.
Walaupun demikian, madzhab Hanafi menyendiri dalam pendapatnya berkaitan dengan hal ini. Dan madzhab Maliki mensyaratkan adanya waktu yang cukup di akhir waktu shalat untuk melaksanakan shalat segera paska suci dari haid.
Wallahu’alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar