Salah satu pertanyaan yang sering diajukan oleh seorang wanita yang sedang haid adalah tentang hukum memotong rambut dan kuku. Apakah hal itu dibolehkan atau tidak? Dan apakah wanita yang sedang
haid boleh bersisir dan meninggalkan rambut yang sudah jatuh lepas darinya
ataukah harus disimpan dan disucikan dikala haidnya sudah berhenti?
Ada sejumlah pendapat yang perlu disampaikan di sini sesuai dengan perbedaan pandangan para ulama tentang hal ini. Berikut pemaparannya.
Seorang yang junub atau
perempuan yang haid sebaiknya tidak memotong kuku, rambut atau anggota tubuh
yang lainnya. Memotong rambut dan menggunting kuku bagi wanita haid hukumnya
makruh. Alasan dari hal ini dijelaskan oleh Imam al-Ghazali dan Abu Thalib
al-Makky:
وَلَا
يَنْبَغِي أَنْ يَحْلِقَ أَوْ يُقَلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ دَمًا أَوْ
يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ
أَجْزَائِهِ فِي اْلآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُباً وَيُقاَلُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ
تُطَالِبُهُ بِجِناَبَتِهَا
"Tidak seyogyanya seseorang
mencukur rambut, memotong kuku, mencukur bulu kemaluannya atau membuang sesuatu
dari badannya pada saat dia sedang junub karena seluruh bagian tubuhnya akan
dikembalikan kepadanya di akhirat kelak, lalu dia akan kembali berjunub.
Dikatakan bahwa setiap rambut akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada
rambut tersebut." (Lihat: Ihya Ulumiddin, 2/325)
وَأَنَا
أَكْرَهُ أَنْ يَحْلِقَ الرَّجُلُ رَأْسَهُ أَوْ يُقَلِّمَ ظُفْرَهُ أَوْ
يَسْتَحِدَّ أَوْ يَتَوَرَّى وَيُخْرِجَ دَمًا وَهُوَ جُنُبٌ، فَإِنَّ الْعَبْدَ
يُرَدُّ إِلَيْهِ جَمِيْعُ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ وَدَمِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
فَمَا سَقَطَ مِنْهُ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ جُنُبٌ رَجَع إِلَيْهِ جُنُباً. وَقِيْلَ:
طَالَبَتْهُ كُلُّ شَعْرَةٍ بِجَنَابَتِهَا
"Saya membenci seorang
laki-laki mencukur kepalanya atau memotong kukunya atau mencukur bulu
kemaluannya atau mengeluarkan darahnya dalam keadaan dia junub, karena seorang
hamba akan dikembalikan kepadanya seluruh rambutnya, kukunya dan darahnya besok
pada hari kiamat. Apa yang jatuh darinya dari hal-hal di atas dalam keadaan dia
junub maka akan kembali kepadanya dalam keadaan junub. Dikatakan setiap rambut
akan menuntutnya dengan sebab junub yang ada pada rambut tersebut." (Lihat: Quut al-Qulub, 2/236)
Namun ulama lain tidak
sependapat perihal anggota tubuh dalam alasan tersebut. Imam al-Bujairimi,
mengutip pendapat al-Qalyubi, menjelaskan bahwa anggota tubuh yang dikembalikan
padanya di hari kiamat adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia,
bukan yang telah terpotong sebelumnya. Al-Madabighi menambahkan bahwa kuku,
rambut, dan semacamnya tidak dikembalikan menyatu dengan tubuh melainkan
dikembalikan dalam keadaan terpisah. Disebutkan dalam Hasyiyah Syarwani:
قَوْلُهُ
تَعُوْدُ إِلَيْهِ فِي الْآخِرَةِ ) هَذَا مَبْنِيٌّ عَلَى أَنَّ الْعَوْدَ لَيْسَ
خَاصًّا بِالْأَجْزَاءِ الْأَصْلِيَّةِ وَفِيْهِ خِلَافٌ ، وَقَالَ السَّعْدُ فِي
شَرْحِ الْعَقَائِدِ النَّسَفِيَّةِ الْمَعَادُ إنَّمَا هُوَ الْأَجْزَاءُ
الْأَصْلِيَّةُ الْبَاقِيَةُ مِنْ أَوَّلِ الْعُمُرِ إلَى آخِرِهِ ع ش
عِبَارَةُ
الْبُجَيْرَمِيِّ فِيهِ نَظَرٌ ، لِأَنَّ الَّذِي يُرَدُّ إلَيْهِ مَا مَاتَ
عَلَيْهِ لَا جَمِيعُ أَظْفَارِهِ الَّتِي قَلَّمَهَا فِي عُمُرِهِ ، وَلَا
شَعْرِهِ كَذَلِكَ فَرَاجِعْهُ قليوبي
وَعِبَارَةُ
الْمَدَابِغِي قَوْلُهُ لِأَنَّ أَجْزَاءَهُ إلخ أَيْ الْأَصْلِيَّةُ فَقَطْ
كَالْيَدِ الْمَقْطُوعَةِ بِخِلَافِ نَحْوِ الشَّعْرِ وَالظُّفْرِ ، فَإِنَّهُ
يَعُودُ إلَيْهِ مُنْفَصِلًا عَنْ بَدَنِهِ لِتَبْكِيتِهِ أَيْ تَوْبِيخِهِ حَيْثُ
أُمِرَ بِأَنْ لَا يُزِيلَهُ حَالَةَ الْجَنَابَةِ أَوْ نَحْوِهَا
انتهت
ا هـ
"Ucapan Mushannif: anggota
badan kembali kepada orang tersebut di akhirat. Ini adalah mengikuti pendapat
bahwa anggota tubuh yang kembali tidak tertentu anggota-anggota tubuh yang asli.
Di dalam hal ini ada perbedaan. Berkata Imam Sa’ad di dalam Syarah al Aqa’id an
Nasafiyyah: “Yang dikembalikan adalah anggota-anggota tubuh yang asli yang masih
ada mulai awal sampai dengan akhir umur. (‘AIN SYIIN / Ali Asy
Syibramullisi).
Ibarot Al Bujairami: Perlu
dipertimbangkan dalam pendapat tersebut, karena anggota tubuh yang dikembalikan adalah anggota yang ada pada saat dia meninggal dunia, bukan seluruh kuku
yang dia potong selama hayatnya, begitu juga bukan seluruh rambutnya. Coba cek
kembali. Al-Qalyubi.
Ibarot al-Madaabighi: Ucapan Mushannif, “Karena anggota-anggota tubuhnya…dst”
Maksudnya hanya anggota
tubuh yang asli seperti tangan yang terpotong. Berbeda semisal rambut dan kuku,
kalau yang ini akan kembali kepada orang tersebut terpisah dari tubuhnya sebagai
teguran untuknya, dia diperintah untuk tidak menghilangkannya di saat junub dan
sebagainya." (Lihat: Hasyiyah Syarwani, 1/284)
Memotong rambut dan
menggunting kuku bagi wanita haid hukumnya makruh. Jika dikerjakan tidak
mendapat dosa. Adapun yang wajib dicuci setelah haid berhenti adalah tempat
potongan rambut dan kuku, bukan rambut dan kuku yang telah terpotong. Jadi, kalau
sudah terlepas dari badan tidak perlu dicuci. Ta’bir dari kitab:
1.
Nihayatuzzain:
وَمَنْ
لَزِمَهُ غُسْلٌ يُسَنُّ لَهُ أَلَّا يُزِيْلَ شَيْئاً مِنْ بَدَنِهِ وَلَوْ دَمًا
أَوْ شَعَرًا أَوْ ظُفْرًا حَتَّى يَغْتَسِلَ لِأَنَّ كُلَّ جُزْءٍ يَعُوْدُ لَهُ
فِي اْلآخِرَةِ فَلَوْ أَزَالَهُ قَبْلَ الْغُسْلِ عَادَ عَلَيْهِ الْحَدَثُ
الْأَكْبَرُ تَبْكِيْتًا لِلشَّخْصِ
"Barang siapa yang wajib
mandi maka agar tidak menghilangkan satupun dari anggota badannya walaupun
berupa darah atau kuku sehingga mandi, karena semua anggota badan akan kembali
kepadanya di akhirat. Jika dia menghilangkannya sebelum mandi maka hadas besar
akan kembali kepadanya sebagia teguran kepadanya." (Lihat: Nihayatuzzain, 1/31)
2. Fathul Mu'in:
وَ
) ثاَنِيْهِمَا ( تَعْمِيْمُ ) ظَاهِرُ ( بَدَنٍ حَتىَّ ) َاْلأَظْفاَرَ وَماَ
تَحْتَهاَ وَ ( الشَّعْرَ ) ظَاهِرًا وَباَطِناً وَإِنْ كَثِفَ وَماَ ظَهَرَ مِنْ
نَحْوِ مَنْبَتِ شَعْرَةٍ زَالَتْ قَبْلَ غَسْلِهاَ
"Syarat yang kedua yaitu
meratakan air pada seluruh anggota zhahir badan hingga kuku dan di bagian
bawahnya, rambut bagian luar dan dalam, yakni tempat tumbuhnya rambut yang telah
lepas sebelum mandi." (Lihat: Fathul Mu'in, 1/31)
3. Hasyiyah
Syarwani:
أَنَّ
الْأَجْزَاءَ الْمُنْفَصِلَةَ قَبْلَ الْإِغْتِسَالِ لَا يَرْتَفِعُ جَنَابَتُهَا
بِغُسْلِهَا
"Bahwasanya anggota tubuh
yang terpisah sebelum mandi, janabahnya tidak hilang dengan memandikannya."
(Lihat: Hasyiyah Syarwani, 1/84)
Catatan: Ada juga ulama
yang tidak memakruhkan.
وَقَالَ
عَطَاءٌ : يَحْتَجِمُ الْجُنُبُ ، وَيُقَلِّمُ أَظْفَارَهُ ، وَيَحْلِقُ رَأْسَهُ ،
وَإِنْ لَمْ يَتَوَضَّأْ . وَمَا حَكاهُ عَنْ عَطَاءٍ ، مَعْنَاهُ : أَنَّ
الْجُنُبَ لَا يُكْرَهُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ شَعَرِهِ وَظُفْرِهِ فِيْ حَالِ
جَنَابَتِهِ ، وَلَا أَنْ يُخْرِجَ دَمَهُ بِحِجَامَةٍ وَغَيْرِهَا
وَلَا
نَعْلَمُ فِيْ هَذَا خِلَافاً إِلَّا مَا ذَكَرَهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَهُوَ
أَبُو الْفَرَجِ الشَّيْرَازِيِّ ، أَنَّ الْجُنُبَ يُكْرَهُ لَهُ الْأَخْذُ مِنْ
شَعَرِهِ وَأَظْفَارِهِ
‘Atha berkata: “Orang junub
berbekam, ,mencukur kepalanya walaupun tidak berwudhu”. Apa yang diceritakan
dari ‘Atha maknanya ialah bahwasanya orang junub tidak dimakruhkan memotong
rambut dan kukunya ketika dia junub, dan tidak makruh mengeluarkan darahnya
dengan berbekam atau lainnya. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan dalam hal
ini keculai apa yang dituturkan sebagaian ashhab kami yaitu Abul Faraj asy
Syairazi bahwasanya orang junub makruh memotong rambut dan kuku. (Lihat: Fathul Bari Li
Ibni Rajab, 1/346)
Wallaahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar