Berbicara seputar najis, tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai
hal yang rumit lantaran buku-buku fiqih yang merangkum pembahasan
seputar thaharah kurang detail dalam mengulasnya, atau sebailknya, terlalu detail sehingga memunculkan kebingungan bagi yang membacanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, bab Thaharah adalah hal yang
nyaris tidak pernah lepas dari setiap individu kita, mulai dari kita
bangun tidur, beraktifitas, hingga tidur lagi. Dalam perjalanan dari
rumah menuju kantor, pasar, sekolah, bahkan di dalam rumah pun kadang
kita tidak tau apakah ada benda-benda najis yang telah mengenai pakaian
atau tubuh kita.
Salah satu pertanyaan yang sering diajukan dalam persoalan najis adalah ukuran
tertentu dari najis, baik itu yang sifatnya mughallazhah (berat) atau
mukhaffafah (ringan) yang dima'fu (dimaafkan) bila mengenai pakaian kita.
Madzhab Hanafi
Imam Abu Ja’far At-Thahawi sebagaimana yang dikutip oleh Imam Al-Jishoh Al-Hanafi dalam Syarhu Mukhtashar At-Thahawi, 2/32, mengatakan:
وإذا كان في ثوب المصلي من الدم أو القيح أو الصديد أو الغائط أو البول، أو ما يجري مجراهن من النجاسة أكثر من قدر الدرهم: لم تجزه صلاته
"Dan apabila pada pakaian orang yang shalat ada darah atau nanah atau muntah atau kotoran besar atau kencing, atau yang serupa dengan itu dari benda-benda yang najis lebih besar dari koin dirham: maka tidak diperbolehkan (haram) dia mengerjakan shalat."
Kemudian dijelaskan lebih rinci dalam madzhab ini, ukuran najis yang masih dimaafkan adalah:
Jika jenis najisnya adalah najis mughallazhah yang kering, maka yang
ditolerir adalah sebesar uang satu dirham, bila ditimbang beratnya
adalah sekitar 2,975 gram. Hal itu sebagaimana yang disebutkan dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 32/344.
Lalu, untuk najis yang basah tidak boleh lebih dari satu genggam
tangan. Adapun dalil yang mereka pakai adalah perkataan Sayidina Umar ra sebagaimana yang dikutip oleh Majduddin Abul Fadl al-Musili al-Hanafi dalam kitab Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar, 1/3:
إذا كانت النجاسة قدر ظفري هذا لا تمنع جواز الصلاة حتى تكون أكثر منه، وظفره كان قريبا من كفنا
"Apabila benda najis itu seukuran dengan kuku tanganku, maka tidak menjadi penghalang untuk melakukan shalat hingga melebihi dari ukurannya, dan sesungguhnya kuku Umar hampir seukuran dengan telapak tangan kami."
Jika jenis najisnya adalah najis ringan atau mukhaffafah, dan sampai
kepada seperempat pakaian maka dilarang seseorang shalat menggunakan
pakaian tersebut. Dalam kitab Al-Ikhtiyar li Ta’lilil Mukhtar dikatakan:
والمانع من الخفيفة أن يبلغ ربع الثوب
"Dan yang terlarang dari najis yang ringan adalah yang sampai seperempat pakaian."
Ini bermakna bahwa jika najis ringan tersebut kurang dari seperempat
pakaian maka masih boleh melanjutkan shalat, sementara jika sudah sampai
kepada seperempat sudah masuk kepada larangan.
Namun meskipun batas minimal tersebut ditolerir untuk mendirikan
shalat, dalam madzhab ini mengenakan pakaian tersebut untuk shalat
dihukumi makruh yang mendekati haram. Maka harus diusahakan untuk
dibersihkan terlebih dahulu atau menggantinya dengan yang pakaian yang
suci.
Madzhab Maliki
Dalam kitab Fiqhul Ibadat ala-l-madzhabi al-Maliki, halaman 135, dikatakan:
يعفى عن نجاسة بقدر الدرهم البغلي، سواء كانت دماً أو قيحاً أو صديداً أو أي نجاسة أخرى
"Dimaafkan dari najis dengan ukuran dirham baghli, sama halnya najis itu berupa darah, atau muntah, atau nanah, atau najis lainnya."
Seberapa besarkah ukuran dihram baghli itu? Dalam Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar al-Khalil, 1/147 dijelaskan:
والمراد بالدرهم الدرهم البغلي أشار إليه مالك.. الدائرة التي تكون بباطن الذراع من البغل
"Dan yang dimaksud dengan dirham, yakni dirham baghli yang dimaksud oleh Imam Malik, bagian yang ada di telapak kaki keledai."
Disimpulkan dari redaksi di atas bahwa ukuran najis yang masih
dimaafkan adalah yang seukuran titik hitam pada telapak kaki keledai dan
bila melebihi ukuran tersebut sudah diharamkan untuk mengenakannya saat
shalat.
Namun dalam keterangan lebih rinci, bahwa dalam madzhab ini
yang ditolerir hanyalah najis berupa darah, nanah, muntahan, dan
sejenisnya.
Dalam madzhab ini juga dimaafkan segala jenis najis yang susah
dihindari ketika menuju shalat dan mulai memasuki masjid. Ibnu Rusyd
dari Malikiyah, dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menekankan bahwa sedikit atau banyaknya najis hukumnya adalah sama,
kecuali darah dan sejenisnya.
Madzhab Syafi’i
Golongan madzhab ini sedikit lebih ketat daripada
yang lain, secara garis besar tidak ada najis yang dimaafkan menurut
mereka kecuali najis yang memang tidak bisa diindera oleh penglihatan
normal kita, maka dikatakan:
وَأما مَا لَا يُدْرِكهُ الْبَصَر فيعفى عَنهُ وَلَو من النَّجَاسَة الْمُغَلَّظَة لمَشَقَّة الِاحْتِرَاز عَن ذَلِك
"Adapun apa-apa yang tidak terlihat oleh penglihatan maka dimaafkan meskipun itu adalah najis yang mughallazhah karena hal tersebut susah dihindari."
Penjelasan tersebut disampaikan oleh Imam Khatib Asy-Syarbini dalam kitab Al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, 1/91.
Ditegaskan pula oleh imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, 2/135:
مَا لَا يُدْرِكُهُ الطَّرْفُ لَا يُنَجِّسُ وَإِنْ كَانَ مِنْ مُغَلَّظٍ
"Apa-apa yang tidak terlihat maka tidak menajiskan meskipun itu mughallazhah."
Selebihnya, pada darah, nanah, darah bisul, kudis, darah pencetan
jerawat, bekas darah bekam, dan darah binatang yang tidak mengalir
dimaafkan pada kadar yang sedikit. Dan sedikitnya itu dikembalikan
kepada adat yang berlaku di masyarakat.
Tanah yang diragukan apakah telah terkena najis
mughallazhah atau tidak, maka dihukumi sebagaiamana hukum asalnya, yakni
suci dan bisa digunakan untuk shalat.
Dalil yang digunakan madzhab ini adalah keumuman
redaksi dalil dalam al-Qur'an tentang kemudahan bagi umat Islam. Dan
kemudahan itu diraih dengan kapasitas kemampuan maksimal.
Madzhab Hanbali
Dalam madzhab ini justru tidak ada maaf sama sekali,
sedikit dan banyaknya dianggap sama. Dikatakan dalam madzhab ini:
وَلَا يُعْفَى عَنْ يَسِيرِ نَجَاسَةٍ وَلَوْ لَمْ يُدْرِكْهَا الطَّرْفُ
"Dan tidak dimaafkan dari najis yang sedikit meskipun tidak diketahui oleh indera." (Lihat: Kasyaful Qina’ ‘an mutunil Iqna’. 1/190)
Madzhab ini berdalil dengan keumuman dalil:
{وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ}
"Dan pakaianmu maka sucikanlah." (QS Al-Mudatstsir: 4)
Namun, darah dan sejenisnya serta muntahan yang sedikit maka
dimaafkan selama tidak bercampur dengan cairan, minuman, atau makanan,
seperti halnya pendapat para imam yang lain. Maka orang yang shalat
dengan pakaian berdarah yang sedikit, dan itu hanya setitik masih
dimaafkan oleh madzhab ini.
Ditolerir pula dalam madzhab ini percikan sedikit
dari kencing orang yang menderita beser karena tingkat kesulitan yang
dialaminya.
Perlu Diperhatikan
Kaitannya dengan pemaparan ijtihad
para ulama madzhab di atas, adalah selama kita mampu untuk beribadah
dengan keadaan yang baik secara maksimal kenapa tidak? Jika dalam
perjalanan bisa membawa pakaian ganti yang khusus untuk shalat maka hal
itu tentu menjadi pilihan terbaik bagi kita. Itulah kenapa sekalipun hal
di atas masih ditolerir, namun masih ada yang menghukuminya makruh.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar