Khitan bagi wanita dalam syariat Islam memang tidak seperti khitan bagi anak laki-laki. Khitan untuk anak laki-laki terkait dengan masalah
kesucian dari najis. Sedangkan untuk anak perempuan tidak ada
kaitannya. Sehingga pelaksanaannya diserahkan kepada adat dan kebiasaan
yang berlaku di suatu negeri.
Dan kalau kita mau menelusuri lebih jauh, akan kita temukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum khitan untuk wanita:
1. Pendapat Pertama
Khitan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafi (lihat: Hasyiah Ibnu Abidin, 5-479; al-Ikhtiyar, 4-167), madzhab Maliki (lihat: As-Syarhu As-Shaghir, 2-151) dan asy-Syafi'i dalam riwayat yang syadz (lihat: Al-Majmu`, 1-300).
Khitan hukumnya sunnah bukan wajib. Pendapat ini dipegang oleh madzhab Hanafi (lihat: Hasyiah Ibnu Abidin, 5-479; al-Ikhtiyar, 4-167), madzhab Maliki (lihat: As-Syarhu As-Shaghir, 2-151) dan asy-Syafi'i dalam riwayat yang syadz (lihat: Al-Majmu`, 1-300).
Menurut pandangan mereka khitan itu hukumnya hanya sunnah bukan
wajib, namun merupakan fitrah dan syiar Islam. Bila seandainya seluruh
penduduk negeri sepakat untuk tidak melakukan khitan, maka negara berhak
untuk memerangi mereka sebagaimana hukumnya bila seluruh penduduk
negeri tidak melaksanakan adzan dalam shalat.
Khusus masalah mengkhitan anak wanita, mereka memandang bahwa
hukumnya mandhub (sunnah), yaitu menurut madzhab Maliki, madzhab Hanafi dan
Hanbali.
Dalil yang mereka gunakan adalah hadits Ibnu Abbas yang marfu` kepada Rasulullah SAW:
"Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita." (HR Imam Ahmad dan Baihaqi)
Selain itu mereka juga berdalil bahwa khitan itu hukumnya sunnah
bukan wajib karena disebutkan dalam hadis bahwa khitan itu bagian dari
fitrah dan disejajarkan dengan istihdad (mencukur bulu kemaluan),
mencukur kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak. Padahal semua
itu hukumnya sunnah, karena itu khitan pun sunnah pula hukumnya.
2. Pendapat Kedua
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh madzhab Syafi`i (lihat: al-Majmu`, 1-284/285; al-Muntaqa, 7-232), madzhab Hanbali (lihat: Kasysyaf Al-Qanna`, 1-80 dan al-Inshaaf, 1-123).
Khitan itu hukumnya wajib bukan sunnah, pendapat ini didukung oleh madzhab Syafi`i (lihat: al-Majmu`, 1-284/285; al-Muntaqa, 7-232), madzhab Hanbali (lihat: Kasysyaf Al-Qanna`, 1-80 dan al-Inshaaf, 1-123).
Mereka mengatakan bahwa hukum khitan itu wajib baik baik laki-laki
maupun bagi wanita. Dalil yang mereka gunakan adalah ayat Al-Quran dan
sunnah:
"Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus." (QS. An-Nahl: 123)
Dan hadis dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Nabi Ibrahim as berkhitan saat berusia 80 dengan kapak." (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Kita diperintah untuk mengikuti millah Ibrahim as. karena merupakan bagian dari syariat kita juga.
Dan juga hadis yang berbunyi:
"Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah." (HR Imam As-Syafi`i dalam kitab Al-Umm yang aslinya dari hadis Aisyah riwayat Muslim)
3. Pendapat Ketiga
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita, tapi tidak wajib. (lihat: Al-Mughni, 1-85)
Wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita. Pendapat ini dipengang oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, yaitu khitan itu wajib bagi laki-laki dan mulia bagi wanita, tapi tidak wajib. (lihat: Al-Mughni, 1-85)
Di antara dalil tentang khitan bagi wanita adalah sebuah hadis meski
tidak sampai derajat shahih bahwa Rasulullah SAW pernah menyuruh
seorang perempuan yang berprofesi sebagai pengkhitan anak wanita.
Rasulullah SAW bersabda:
"Sayatlah sedikit dan jangan berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami."
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadis yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Jadi untuk wanita dianjurkan hanya memotong sedikit saja dan tidak sampai kepada pangkalnya. Namun tidak seperti laki-laki yang memang memiliki alasan yang jelas untuk berkhitan dari sisi kesucian dan kebersihan, khitan bagi wanita lebih kepada sifat pemuliaan semata. Hadis yang kita miliki pun tidak secara tegas memerintahkan untuk melakukannya, hanya mengakui adanya budaya seperti itu dan memberikan petunjuk tentang cara yang dianjurkan dalam mengkhitan wanita.
Sehingga para ulama pun berpendapat bahwa hal itu sebaiknya
diserahkan kepada budaya tiap negeri, apakah mereka memang melakukan
khitan pada wanita atau tidak. Bila budaya di negeri itu biasa
melakukannya, maka ada baiknya untuk mengikutinya. Namun biasanya khitan
wanita itu dilakukan saat mereka masih kecil.
Sedangkan khitan untuk wanita yang sudah dewasa, akan menjadi masalah
tersendiri karena sejak awal tidak ada alasan yang terlalu kuat untuk
melakukanya. Berbeda dengan laki-laki yang menjalankan khitan karena ada
alasan masalah kesucian dari sisa air kencing yang merupakan najis.
Sehingga sudah dewasa, khitan menjadi penting dilakukan.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar