Menurut madzhab Hanafi: Bila yang tersingkap itu ada seperempat dari aurat mughallazhah (qubul dan dubur dan sekitarnya) maupun aurat mukhaffafah (selain qubul dan dubur) di tengah-tengah shalat, lamanya sepanjang pelaksanaan satu rukun, maka shalatnya rusak, sekalipun bukan atas perbuatan sendiri, karena tertiup angin umpamanya. Sedangkan jika yang tersingkap itu kurang dari seperempat, tapi atas perbuatan sendiri, maka seketika itu juga shalatnya dipandang batal sekalipun lamanya tersingkap itu kurang dari sepanjang satu rukun. Adapun jika aurat itu tersingkap sejak sebelum memulai shalat, tapi ada seperempatnya, maka shalat belum bisa dilaksanakan.
Menurut madzhab Syafi'i: Apabila aurat terbuka di tengah-tengah shalat padahal ada kemampuan untuk menutupnya, maka batallah shalatnya. Adapun kalau aurat itu tersingkap oleh angin dan seketika itu juga ditutup kembali tanpa terjadi banyak gerak, maka shalatnya tidak batal. Sedangkan kalau yang menyebabkan terbukanya aurat itu bukan angin, binatang atau anak kecil yang belum tamyiz misalnya, maka shalat itu tetap batal.
Menurut madzhab Hanbali: Apabila sebagian aurat terbuka dengan tanpa sengaja, kalau terbukanya itu hanya sedikit, maka tidaklah batal shalatnya, sekalipun terbukanya cukup lama. Jika yang terbuka cukup lebar, oleh angin umpamanya, akan tetapi seketika itu juga ditutup kembali tanpa menimbulkan banyak gerak, maka tidaklah batal shalatnya, sekalipun seluruh auratnya terbuka. Tapi kalau tidak segera ditutup, maka shalatnya pun menjadi batal. Kemudian jika auratnya dengan sengaja dibuka, maka mutlak shalatnya menjadi batal.
Menurut madzhab Maliki: Jika yang terbuka itu aurat mughallazhah maka batallah shalatnya. Jadi, kalau seseorang itu saat memulai shalatnya keadaan auratnya tertutup dengan sempurna, lalu penutup itu jatuh di tengah-tengah shalat, maka shalatnya pun menjadi batal, dan wajib diulang kembali. Demikian menurut pendapat yang masyhur di dalam madzhab ini.
Masalah
Terdapat dua masalah yang patut dicermati terkait hal ini:
1. Bagaimanakah hukumnya jika wanita melihat aurat wanita lain atau laki-laki yang bukan muhrim, sedangkan aurat itu telah terpisah dari tubuh?
Menurut madzhab Hanbali, aurat yang sudah terpisah dari tubuh tidaklah haram dilihat. Karena dengan terlepasnya itu telah hilang pula kehormatannya.
Menurut madzhab Maliki, aurat yang sudah terpisah dari tubuh, sedangkan berpisahnya pada saat pemiliknya masih hidup, maka boleh dilihat. Adapun kalau berpisahnya itu sesudah pemiliknya meninggal dunia, maka hukumnya masih tetap seperti saat ini menempel di tubuh. Jadi, tetap haram dilihat.
2. Bagaimanakah hukumnya jika wanita memandang remaja laki-laki (yang kumis dan janggutnya beum tumbuh), sedang remaja itu cukup menarik?
Dalam kitab Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah dikatakan: Melihat remaja putra yang kumis dan janggutnya belum tumbuh, baik bagi laki-laki maupun perempuan, hukumnya adalah haram. Hal ini bila remaja itu dianggap cukup menarik hati. Tetapi jika melihatnya itu tidak dimaksudkan untuk memperoleh kenikmatan (birahi), maka boleh saja, dengan catatan tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
Catatan:
Tiap-tiap yang haram dilihat, maka haram pula menyentuhnya tanpa penghalang, sekalipun tanpa syahwat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar