Madzhab Hanafi: Batas aurat wanita dalam shalat adalah seluruh tubuhnya, sampai rambut yang terurai dari arah telinga pun termasuk aurat. Karena sabda Rasulullah SAW:
المراة عورة
"Wanita itu sendiri adalah aurat."
Kemudian dikecualikan daripadanya perut kedua telapak tangan. Perut dari telapak tangan itu bukan aurat, tapi punggungnya tetap aurat. Sebaliknya, telapak kaki, punggungnya bukan aurat, tapi perutnya aurat.
Madzhab Syafi'i: Batas aurat wanita dalam shalat adalah seluruh tubuhnya, sampai rambut yang terurai dari arah telinga, kecuali wajah dan dua telapak tangan saja, baik punggung ataupun perutnya.
Madzhab Hanbali: Batas aurat wanita dalam shalat dalam pandangan mereka adalah seluruh tubuh selain wajah saja. Selain wajah, tubuh wanita adalah aurat.
Madzhab Maliki: Dalam madzhab ini, aurat wanita dalam shalat dibagi menjadi dua: Mughallazhah dan Mukhaffafah (aurat berat dan aurat ringan). Aurat mughallazhah bagi wanita menurut mereka adalah seluruh tubuh selain ujung-ujungnya dan dada. Sedangkan dada itu sendiri dan seperti punggung di belakang dada, kemudian hasta, leher, kepala dan bagian tubuh antara lutut hingga telapak kaki, semuanya adalah aurat mukhaffafah. Adapun wajah dan kedua telapak tangan, baik perut maupun punggungnya, sama sekali bukan aurat.
Bahan Penutup Aurat di dalam Shalat
Bahan untuk menutup aurat hendaknya tebal. Bahan yang tipis tidak sah sebagai penutup aurat, yakni bahan yang masih menampakkan warna kulit yang ada di baliknya atau lekuk-lekuk tubuh tergambar dengan jelas.
Bagaimana Bila Tidak Menemukan Sesuatu untuk Menutup Aurat?
Dalam hal ini para ulama yang bermadzhab Hanafi dan Hanbali mengatakan lebih baik wanita itu shalat sambil duduk dengan merapatkan kedua pahanya satu sama lain. Lalu dijulurkan kedua kakinya ke arah kiblat. Sedangkan ruku' dan sujudnya cukup memberi isyarat.
Jika dipertanyakan, bagaimanakah hukumnya jika bahan penutup aurat itu terbuat dari sesuatu yang najis, misalnya kulit babi atau kain yang tekena najis yang tidak bisa dimaafkan?
Menjawab pertanyaan tersebut, para ulama bermadzhab Maliki mengatakan bahwa wanita boleh melakukan shalat sekalipun dengan mengenakan pakaian najis atau terkena najis, dan tidak wajib mengulang shalatnya. Hanya disuruh mengulanginya bila menemukan pakaian yang suci. Ini jika masih mendapati waktu shalat.
Sedangkan menurut ulama bermadzhab Hanbali, bahwa dalam hal ini wanita ini hanya boleh melakukan shalat dengan pakaian yang terkena najis saja, dan nanti wajib mengulangi shalatnya. Sedangkan jika yang ada hanyalah pakaian najis (bukan yang terkena najis), seperti kulit babi, maka lebih baik shalatnya sambil bertelanjang dan tidak perlu mengulangi shalatnya.
Wallahu a'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar