Senin, 16 Januari 2017

KAJIAN KE-23: SHALAT (BAGIAN KETIGA)

Tidak Sah Shalat Jika Aurat Terbuka

Dari Aisyah ra, bahwa Nabi SAW bersabda, "Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah dewasa kecuali bila memakai tutup kepala." (HR Lima Perawi kecuali Nasa'i)

Kata-kata حائض (haa-idh) dalam hadis di atas diartikan telah dewasa atau telah mencapai umur haid. Hal itu dijelaskan oleh hadis lain menurut lafazh Ath-Thabrani dalam musnadnya, Ash-Shaghir dan Al-Kabir, lewat jalur Abu Qatadah:

"Allah tidak akan menerima shalat dari seorang wanita pun kecuali dia mau menutupi perhiasannya. Dan tidak akan (menerima pula shalat dari) seorang perempuan yang telah mencapai umur haid, kecuali dia mau menutupi kepalanya."


Berkenaan dengan hadis itu Asy-Syaukani mengatakan dalam kitab al-Muhkam bahwa menutup kepala bagi perempuan hukumnya wajib.

Sekarang seberapakah aurat wanita di dalam shalat, inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang mengatakan seluruh tubuhnya adalah aurat selain wajah dan dua telapak tangan. Adapun yang berpendapat seperti ini adalah al-Hadi, al-Qasim pada salah satu dari dua pendapatnya. Dan juga Asy-Syafi'i pada salah satu pendapatnya. Menyusul Abu Hanifah pada salah satu dari dua perawinya yang diriwayatkan dari beliau dan Imam Malik. Keterangan lebih lanjut mengenai pendapat-pendapat mereka dalam hal ini akan kami jelaskan nanti.

Sebagian ulama menyatakan, hanya wajah sajalah yang bukan aurat bagi wanita dalam shalatnya. Selain wajah, adalah aurat semua. Demikian menurut sahabat-sahabat Asy-Syafi'i. Sementara ada pula yang meriwayatkan dari Ahmad demikian.

Jadi kesimpulannya, bahwa menutup aurat itu adalah salah satu syarat sahnya shalat. Sebagai dalil, berikut ini ada dua buah hadis yang menjelaskan tentang hal itu.

Dari Ummu Salamah ra bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi SAW, "Bolehkah wanita shalat dengan memakai baju dan kerudung kepala saja tanpa sarung?" Rasulullah SAW menjawab, "(Boleh) bila baju itu panjang hingga menutupi bagian atas kedua telapak tangan." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim)

Dari Ibnu Umar ra ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa menarik (memperpanjang) pakaiannya dengan sikap congkak, maka Allah tidak akan melihat (memberi rahmat) kepadanya di hari kiamat." (Mendengar itu) Ummu Salamah bertanya, "Bagaimanakah seharusnya wanita membuat ujung kain mereka?" Nabi SAW menjawab, "Perpanjang sampai sejengkal." Ummu Salamah bertanya lagi, "Kalau begitu telapak kaki mereka terbuka?" Maka Rasulullah SAW menjawab, "Kalau begitu perpanjanglah sampai satu hasta, jangan lebih." (HR Jama'ah)

Kata dir'un adalah baju kurung yang menutup seluruh tubuh sampai kaki. Baju seperti ini disebut dengan sabigh kalau cukup panjang dari atas sampai ke bawah.

Mengenai kalimat yurkhiina syibran (يرخين شبرا = perpanjang sampai sejengkal)  kata Ibnu Ruslan, bahwa menurut zhahirnya, maksudnya dari syibr adalah satu dzira', atau ukuran yang lebih panjang dibanding baju laki-laki. Jadi bukan pakaian yang sampai menyentuh tanah.

Kemudian bagi yang berpendapat bahwa menutup aurat itu termasuk syarat sahnya shalat, dengan adanya kata yurkhiina syibran (يرخين شبرا = perpanjang sampai sejengkal) dan kata fayurkhiinahu dziraa'an (فيرخينه ذراعا = perpanjanglah sampai satu hasta) menganggap bahwa bagi wanita, memanjangkan baju sampai satu jengkal atau satu hasta di bawah telapak kaki adalah wajib. Tapi bagi yang mendasarkan pendapatnya pada yughaththii zhuhuura wa qadamaihaa (يغطى ظهور وقدميها = hingga menutupi bagian atas kedua telapak kaki) memandang kelebihan itu tidak perlu.

Dari semua keterangan mengenai aurat wanita di atas jelaslah bagi kita bahwa di luar shalat seluruh tubuh wanita adalah aurat. Oleh karena itu, wanita wajib menutup tubuhnya di depan orang lain sekalipun ukuran aurat itu berbeda-beda dalam panndangan para ulama.

Sedangkan di dalam shalat, menutup aurat adalah syarat baginya sahnya shalat seseorang. Namun demikian, seberapakah ukuran aurat wanita di dalam shalat? Insya Allah akan datang pembahasannya.  
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar