Rabu, 01 Maret 2017

KAJIAN KE-53: BATASAN KEBOLEHAN MENCUMBUI ISTRI YANG SEDANG HAID

Seluruh ulama fiqih dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) sepakat bahwa wanita yang sedang mengalami haid dilarang untuk berjima’ atau berhubungan intim.

Keharamannya ditetapkan oleh Al-Quran berikut ini:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)


Dalil keharamannya juga disebutkan dalam hadis ketika Rasulullah SAW ditanya tentang hukum mencumbui wanita yang sedang haid maka beliau menjawab:

وَعَنْ أَنَسٍ رضيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ اليَهُودَ كَانت إِذا حَاضَتِ المَرْأَةُ فِيْهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: اصْنَعُوا كُلَّ شَىءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ
 
Dari Anas RA bahwa orang yahudi bila para wanita mereka sedang mendapat haid, mereka tidak memberikan makanan pada para wanita itu. Rasulullah SAW bersabda, "Lakukan segala yang kau mau kecuali nikah (hubungan badan)." (HR. Imam Muslim)

Batasan mengenai larangan hubungan badan yang disepakati para ulama di atas adalah apabila terjadi jima’ dalam arti yang sesungguhnya, yakni terjadinya dukhul atau penetrasi.

Mereka juga membolehkan percumbuan yang dilakukan dengan istrinya itu, di anggota tubuh SELAIN yang ada di antara pusar dan lutut istri. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra :

وَعَنْ عَائِشَةَ رضيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُنِي فَأَتَّزِرُ، فَيُبَاشِرُنِي وَأَنَا حَائِضٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

"Dari Aisyah ra beliau berkata : Rasululullah SAW menyuruhku untuk memakai sarung, kemudian beliau mencumbuiku dalam keadaan haid." (Muttafaq Alaih)

Dalam hadis yang lain dari Aisyah ra :

"Jika salah satu dari kami (istri Nabi) ada yang haid, dan Rasulullah SAW ingin mencumbuinya, maka beliau SAW menyuruh istrinya yang haid itu untuk memakai kain sarung, kemudian beliau mencumbuinya." (HR. Imam Bukhari)
 
Dalam hadis dari Ummul Mukminin Maimunah ra :

“Rasulullah SAW mencumbui istrinya dalam keadaan haid, apabila istrinya itu memakai sarung.” (HR. Imam Nasa’i)

Batasan Mencumbui Bagian-bagian Antara Pusar dan Lutut Istri Saat Haid    

Ketika para ulama membolehkan percumbuan dengan selain yang ada di antara pusar dan lutut, lalu bagaimana hukumnya mencumbui bagian itu jika tidak sampai terjadi jima'?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat sebagaimana berikut :


1. Madzhab Hanafi
 
Ulama dalam madzhab ini membolehkan seorang suami untuk mencumbui anggota tubuh istrinya yang ada di antara lutut dan pusarnya. Dengan syarat, percumbuan itu terjadi dengan adanya penghalang, seperti sarung, kain, atau sejenisnya. Namun suami tidak boleh melihat bagian-bagian tersebut.
Suami boleh memegang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat, selama bagian-bagian itu ditutupi dengan penghalang. Intinya tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung dan tidak boleh melihat.

2. Madzhab Maliki

Ulama dalam madzhab ini berbeda dengan madzhab Hanafi. Fuqaha dalam madzhab Maliki mengatakan bahwa seorang suami dilarang memegang dan mencumbui anggota tubuh istri yang ada di antara lutut dan pusarnya pada saat istrinya itu sedang mengalami haid, walaupun itu dibatasi dengan kain penghalang. Namun mereka membolehkannya untuk melihat bagian-bagian tersebut, walaupun dengan syahwat.

Madzhab ini berpendapat bahwa suami hanya boleh melihat atau memandang bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut istrinya itu, tanpa boleh mencumbuinya lebih jauh.

3. Madzhab Syafi'i

Ketika seorang istri dalam keadaan haid, suaminya boleh mencumbuinya di bagian mana saja yang diinginkan. Hanya saja, percumbuan itu harus dibatasi dengan kain penghalang, sehingga tidak ada sentuhan kulit secara langsung.

Madzhab ini juga membolehkan suami untuk melihat dan memandang bagian-bagian itu, dengan atau tanpa syahwat.

Dalam madzhab Syafi’i, seorang suami boleh mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut dalam batasan : boleh melihatnya, dan boleh mencumbu dengan adanya penghalang, sehingga tidak terjadi sentuhan kulit secara langsung.

4. Madzhab Hanbali

Agak berbeda dengan ketiga madzhab di atas, madzhab Hanbali membolehkan suami mencumbui istrinya yang sedang haid di bagian manapun yang ia inginkan. Syaratnya tidak sampai terjadi jima’ yang sesungguhnya, yakni dukhul (penetrasi).

Seorang suami boleh mencumbui istrinya di bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut, kecuali organ intim, baik itu dengan melihat ataupun menyentuh, dengan atau tanpa penghalang.

Namun demikian, para ulama dalam madzhab ini menganjurkan istri yang sedang haid untuk menutupi organ intimnya dengan penghalang selama percumbuan dilakukan.

Imam al-Mardawi (w. 885 H.), salah seorang ulama dalam madzhab Hanbali mengatakan dalam kitabnya “Al-Inshaf fi Ma'rifati Ar-Rajih minal Khilaf” bahwa jika seorang suami tidak yakin bisa menahan syahwatnya, dan khawatir akan terjadi jima’ apabila mencumbui bagian tubuh istrinya yang ada di antara pusar dan lutut, maka haram baginya mencumbui istrinya di bagian itu. Sebab menghindari itu akan membuat dirinya lebih selamat dan tidak terjerumus dalam perbuatan dosa.

Penutup

Demikian penjelasan dari para ulama dari empat madzhab besar. Di satu sisi mereka memiliki pandangan yang sama, yakni mengenai haramnya men-jima’ istri yang sedang haid. Walaupun mereka tetap berbeda mengenai bolehnya seorang suami mencumbui bagian-bagian yang ada di antara pusar dan lutut. 

Madzhab Hanafi membolehkan mencumbui istri dengan adanya penghalang di bagian-bagian tersebut. Madzhab Maliki membolehkan percumbuan dalam batasan melihat saja. Madzhab Syafi’i, membolehkan mencumbu istri di bagian-bagian itu dengan menggunakan penghalang, serta boleh melihatnya pula. 

Berbeda dengan madzhab-madzhab di atas, dalam madzhab Hanbali seorang suami boleh mencumbu istrinya di bagian manapun, asalkan tidak terjadi jima’ atau penetrasi. Namun, jika suami itu khawatir tidak bisa menahan syahwatnya, hendaknya ia menghindari bagian-bagian itu, agar tidak sampai terjadi jima'.

Wallahu a'lam


 

 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar