Ulama
berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan
bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar
suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal
yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah
ini.
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al
Fikr, berkata: “Suara wanita
menurut jumhur (mayoritas
ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara
wanita yang disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya,
walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah.
Dikatakan: “Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat
dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan
mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa)." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/91)
Dalil yang menunjukkan bahwa
suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai
berikut:
Berikut ini diantara ayat al-Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1. Allah SWT memerintahkan para istri Rasulullah SAW agar
berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu
akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat yang lain. Firman-Nya:
“Wahai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 32)
2. Allah SWT menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi SAW
tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar hiwar (dialog) antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. al-Mujadilah: 1)
Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut
kepada Nabi SAW mengunakan kata-kata, bukan dengan
bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah SAW
akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3.
Dalam al-Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa AS dengan dua wanita
kakak beradik,
yakni putri Nabi Syu’aib, FirmanNya:
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men-jumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu
menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut umurnya." (QS. al-Qashash: 23)
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu
takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."
(QS. al-Qashash: 25)
Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang
menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut
bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai
aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan
aktivitas-aktivitas itu.
Seperti
para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah:
275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS.
Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan
barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283),
menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa
(QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak
menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B. Hadis Nabi SAW dan Atsar Para Sahabat
1.
Shahabiyah
(shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah SAW
Banyak
hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada
Rasulullah SAW,
bahkan ketika Nabi SAW
sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Di antaranya adalah apa
yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini:
Dari Ibnu Abbas ra, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah SAW, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar
untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa
berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa
pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang
kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR Imam Bukhari)
2.
Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama
Dan
para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para
isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan
berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan,
“Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib
ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak
pernah dirasakan bagi wanita lainnya.
Al Ahnaf ibn Qais berkata, “Aku telah
mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah
mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR Imam al-Hakim)
Musa bin Thalhah ra. berkata, “Aku
tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR Imam Turmidzi)
C. Pendapat Ulama Madzhab
Madzhab Hanafi: Ada
sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita
adalah aurat. Namun, menurut kabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al
Fikr)
Madzhab Maliki dan Hanbali: Dalam
al-Mausu’ah Fiqihiyah al-Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan
tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika
mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.
Madzhab Syafi'i: Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab
ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut Syafi’iyah, boleh
mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah. (Al- Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 31/47)
D. Pendapat Ulama Lainnya
Umairah mengatakan, "Suara
perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram
mendengarnya."
Zainuddin al-Malibary berkata, "Suara tidak termasuk aurat, karena
itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat
dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi."
Syaikh
al Jaziri berkata : “Suara wanita
bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para
shahabat.
E. Kalangan yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat
Namun, sebuah fakta
yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat
bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa
dalil di antaranya:
1. Rasulullah SAW bersabda, "Wanita
adalah aurat, jika dia keluar maka setan akan mengawasinya." (HR Imam Turmudzi, Ibnu Khuzaimah dan Thabarani; shahih)
Berdasarkan makna zhahir hadis ini, kalangan ini menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita
adalah aurat termasuk suaranya.
Bantahan: Dalam Ilmu Fiqih tidak asing
lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khash (khusus). Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayyad (terbatasi). Contohnya firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi
kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah
sabda Nabi: “Dihalalkan bagi kami dua
bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”
Oleh karena itu para ahli ushul membuat
kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).
Hadis di atas adalah hadis umum yang
menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadis-hadis
yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang
dikecualikan.
2. Firman Allah SWT: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. an-Nuur: 31)
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar
suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding
suara gelang.
Bantahan: Namun dalil ini dibantah oleh para
ulama, dan nampak berdalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang
dari seorang wanita pada ayat di atas adalah pada perbuatannya yang memamerkan
perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena
suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada
apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.
3. Cara menegur imam
bagi makmum yang tidak menggunakan suara.
Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum
wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan
tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis ketika Rasulullah SAW ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab, “Barangsiapa menjadi makmum lalu
merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika
dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus
untuk wanita.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)
Logikanya, jika bukan aurat,
tentunya kaum
wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucap subhanallah.
Bantahan: Namun, lagi-lagi alasan ini juga
lemah dan penakwilan yang
berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan
ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah
aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat
atau bukan.
Penutup
Suara wanita menurut
pendapat yang shahih bukanlah aurat, karena itu tentunya tidak mengapa bila
seorang wanita berkata-kata dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Namun,
untuk berbicara dengan lelaki asing maka hendaknya tidak berkata-kata dengan
intonasi yang menyerupai desahan, yang akan mengundang fitnah dan keburukan.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar