Sabtu, 28 Januari 2017

KAJIAN KE-34: BENARKAH SUARA WANITA ITU AURAT?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.

Syaikh Wahbah Zuhaili dalam Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr, berkata: “Suara wanita menurut jumhur (mayoritas ulama) bukanlah aurat, karena para sahabat nabi mendengarkan suara para isteri Nabi Saw untuk mempelajari hukum-hukum agama, tetapi diharamkan mendengarkan suara wanita  yang  disuarakan dengan melagukan dan mengeraskannya, walaupun dalam membaca Al Quran, dengan sebab khawatir timbul fitnah.

Dikatakan: “Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa)." (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 4/91)

Dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai berikut:

A. Dalil al-Qur'an

Berikut ini diantara ayat al-Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.  

1. Allah SWT memerintahkan para istri Rasulullah SAW agar berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat yang lain. Firman-Nya:

“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 32)


Meskipun konteks ayat di atas membicarakan para umahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah. 

2. Allah SWT menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi SAW tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya:

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar  hiwar (dialog)  antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Mujadilah: 1)

Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut kepada Nabi SAW mengunakan kata-kata, bukan dengan bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah SAW akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.

3. Dalam al-Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa AS dengan dua wanita kakak beradik, yakni putri Nabi Syu’aib, FirmanNya:

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men-jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." (QS. al-Qashash: 23)

Dan disambung diayat selanjutnya:

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (QS. al-Qashash: 25)

Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan aktivitas-aktivitas itu.

Seperti para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah: 275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS. Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283), menyampaikan ceramah (QS.  An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa (QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak menggunakan aktivitas suara/ berbicara.

B. Hadis Nabi SAW dan Atsar Para Sahabat

1. Shahabiyah (shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah SAW
Banyak hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada Rasulullah SAW, bahkan ketika Nabi SAW sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Di antaranya adalah apa yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini:

Dari Ibnu Abbas ra, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata: “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR Imam Bukhari)

2. Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama

Dan para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan, “Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak pernah dirasakan bagi wanita lainnya.




Al Ahnaf ibn Qais berkata, “Aku telah mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR Imam al-Hakim)

Musa bin Thalhah ra. berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR Imam Turmidzi) 

  
C. Pendapat Ulama Madzhab

Madzhab Hanafi: Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita adalah aurat. Namun, menurut kabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat. (Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 1/647, Darr al Fikr)

Madzhab Maliki dan Hanbali: Dalam al-Mausu’ah Fiqihiyah al-Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.

Madzhab Syafi'i: Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut Syafi’iyah, boleh mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah. (Al- Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 31/47)

D. Pendapat Ulama Lainnya

Umairah mengatakan, "Suara perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram mendengarnya." 

Zainuddin al-Malibary berkata, "Suara tidak termasuk aurat, karena itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi."

Syaikh al Jaziri berkata : “Suara wanita bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para shahabat.

E. Kalangan yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat


Namun, sebuah fakta yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa dalil di antaranya:


1. Rasulullah SAW bersabda, "Wanita adalah aurat, jika dia keluar maka setan akan mengawasinya." (HR Imam Turmudzi, Ibnu Khuzaimah dan Thabarani; shahih)


Berdasarkan makna zhahir hadis ini, kalangan ini  menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita adalah aurat termasuk suaranya.


Bantahan: Dalam Ilmu Fiqih tidak asing lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khash (khusus).  Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayyad (terbatasi). Contohnya firman Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah sabda Nabi: “Dihalalkan bagi kami dua bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”



Oleh karena itu para ahli ushul membuat kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).


Hadis di atas adalah hadis umum yang menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadis-hadis yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang dikecualikan.

 2. Firman Allah SWT: "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. an-Nuur: 31)


 
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding suara gelang.


Bantahan: Namun dalil ini dibantah oleh para ulama, dan nampak berdalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang dari seorang wanita pada ayat di atas adalah pada perbuatannya yang memamerkan perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.


3. Cara menegur imam bagi makmum yang tidak menggunakan suara.


Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadis ketika Rasulullah SAW ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab, Barangsiapa menjadi makmum lalu merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus untuk wanita.” (HR Imam Bukhari dan Muslim)


Logikanya, jika bukan aurat, tentunya kaum wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucap subhanallah.


Bantahan: Namun, lagi-lagi alasan ini juga lemah dan penakwilan yang berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat atau bukan.


Penutup


Suara wanita menurut pendapat yang shahih bukanlah aurat, karena itu tentunya tidak mengapa bila seorang wanita berkata-kata dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Namun, untuk berbicara dengan lelaki asing maka hendaknya tidak berkata-kata dengan intonasi yang menyerupai desahan, yang akan mengundang fitnah dan keburukan.
Wallahu a'lam  
 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar