Senin, 10 April 2017

KAJIAN KE-60: HUKUM BERSETUBUH SAAT ISTIHADHAH

Para ulama ikhtilaf (berbeda pendapat) dalam permasalahan ini. Mereka berbeda pendapat dalam kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina, maka yang shahih adalah boleh secara mutlak, karena ada banyak wanita, mencapai sepuluh atau bahkan lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa Sallam, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima' dengan mereka. 

Lihat dalil al-Qur'an pada surat al-Baqarah: 222. Ayat itu menunjukkan di luar keadaan haid, suami tidaklah wajib menjauhkan diri dari istri, kalau shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah maka jima'pun tentu lebih boleh lagi, dan tidak benar bila jima' wanita mustahadhah diqiyaskan dengan jima' wanita haid, karena keduanya tidaklah sama. Qiyas yang demikian itu menurut pendapat ulama adalah haram, sebab mengqiyiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda adalah tidak sah.
 
Dalam kitab Al-Fataawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, I/20 disebutkan :
 
عِبَارَةُ الْمَجْمُوعِ يَجُوزُ عِنْدَنَا وَطْءُ الْمُسْتَحَاضَةِ في الزَّمَنِ الْمَحْكُومِ بِأَنَّهُ طُهْرٌ وَإِنْ كان الدَّمُ جَارِيًا وَهَذَا لَا خِلَافَ فيه عِنْدَنَا وَنَقَلَهُ جَمْعٌ عن أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ انْتَهَتْ

Redaksi dalam kitab al-Majmuu’: “Boleh menurut kami (Syafi’iyyah) menggauli istri dalam kondisi sedang istihadhah dalam masa yang ia dihukumi keadaan suci meskipun darahnya sedang mengalir, yang demikian tidak ada perbedaan pendapat di antara kami (Syafi’iyyah), dan bahkan segolongan ulama menyatakan keterangan tersebut sesuai mayoritas ulama”.
 
ويجوز وطء المستحاضة في الزمن المحكوم عليه بأنه طهر ولا كراهة في ذلك وإن كان الدم جاريا
 
Boleh menggauli istri dalam kondisi sedang istihadhah dalam masa yang ia dihukumi keadaan suci dan yang demikian tidaklah makruh meskipun darahnya sedang mengalir. [Mughni al-Muhtaaj, I/112 ].
Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar