Salah satu persoalan yang sering kali ditanyakan kaum wanita adalah masalah datangnya haid, padahal shalat belum ditunaikan.
Misal, masuknya waktu shalat Zhuhur pukul 11.30, dan ia belum shalat hingga pukul
13.00. Saat akan shalat ternyata ia mengalami haid. Pertanyaannya, ketika si wanita itu telah bersih dari haidnya, apakah ia harus meng-qadha (mengganti) shalat Zhuhur itu atau tidak?
Tak bisa dipungkiri bahwa terhadap persoalan ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama, terutama dari kalangan madzhab Syafi'i dan madzhab Hanafi.
Dalam madzhab Syafi'i, kewajiban shalatnya tidak gugur. Sehingga bila nanti sudah selesai dari masa haid, dia wajib meng-qadha (mengganti) shalatnya. Sebaliknya, dalam pandangan madzhab Hanafi, seorang wanita yang ketika masuk waktu shalat fardhu dalam keadaan suci, lalu di tengah waktu shalat dia mendapatkan darah haid, padahal belum sempat shalat, maka kewajiban shalatnya gugur. Dan untuk itu tidak perlu di-qadha bila nanti telah suci.
Syaratnya sederhana, darah haid itu keluar setelah beberapa saat masuk waktu shalat, sekira durasi waktu yang dapat digunakan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat tersebut. Tetapi kalau begitu masuk waktu shalat, langsung datang haid sehingga jaraknya tidak cukup untuk digunakan sekedar berwudhu dan mengerjakan shalat, maka kewajiban shalatnya pun gugur.
Dalam madzhab Syafi'i, kewajiban shalatnya tidak gugur. Sehingga bila nanti sudah selesai dari masa haid, dia wajib meng-qadha (mengganti) shalatnya. Sebaliknya, dalam pandangan madzhab Hanafi, seorang wanita yang ketika masuk waktu shalat fardhu dalam keadaan suci, lalu di tengah waktu shalat dia mendapatkan darah haid, padahal belum sempat shalat, maka kewajiban shalatnya gugur. Dan untuk itu tidak perlu di-qadha bila nanti telah suci.
Syaratnya sederhana, darah haid itu keluar setelah beberapa saat masuk waktu shalat, sekira durasi waktu yang dapat digunakan untuk berwudhu dan mengerjakan shalat tersebut. Tetapi kalau begitu masuk waktu shalat, langsung datang haid sehingga jaraknya tidak cukup untuk digunakan sekedar berwudhu dan mengerjakan shalat, maka kewajiban shalatnya pun gugur.
Memilih yang Paling Aman
Mungkin Anda akan bertanya, "Manakah di antara dua pendapat itu yang lebih kuat?"
Tentu masing-masing
madzhab akan saling mengklaim bahwa pendapat merekalah yang paling
kuat. Sebaiknya kita mengambil sikap memilih yang paling aman, bukan yang paling kuat.
Begini penjelasannya.
Hal yang harus dicamkan dalam diri bahwa urusan mengerjakan shalat fardhu bukanlah urusan main-main. Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, selain berdosa besar, juga dipastikan akan masuk neraka. Oleh karena itu, kalau ada dua pendapat yang berbeda, yang satu mengharuskan kita mengganti shalat dan satunya lagi tidak mengharuskan, penalaran sehat kita tentu akan memilih pendapat yang mengharuskan kita mengganti shalat.
Mengapa?
Coba perhatikan pengandaian berikut ini. Seandainya nanti di akhirat ternyata yang benar adalah pendapat yang tidak mengharuskan untuk mengganti, sebagaimana pendapat madzhab Hanafi, sementara kita sudah terlanjur mengganti, tentu tidak ada resiko apa-apa. Malah kita akan dapat untung, karena kita dapat pahala shalat sunnah.
Sebaliknya, kalau yang benar ternyata kita harus mengganti shalat, sebagaimana pendapat kalangan madzhab Syafi'i, padahal kita tidak menggantinya, maka kecelakaanlah bagi kita. Badan kita akan dibakar api neraka Saqar karena meninggalkan shalat fardhu. Betapa ruginya kita kalau sampai hal itu terjadi.
Maka pilihan yang paling logis adalah memilih yang resikonya paling kecil, atau yang sama sekali tidak ada resikonya, yakni mengganti shalat.
Begini penjelasannya.
Hal yang harus dicamkan dalam diri bahwa urusan mengerjakan shalat fardhu bukanlah urusan main-main. Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, selain berdosa besar, juga dipastikan akan masuk neraka. Oleh karena itu, kalau ada dua pendapat yang berbeda, yang satu mengharuskan kita mengganti shalat dan satunya lagi tidak mengharuskan, penalaran sehat kita tentu akan memilih pendapat yang mengharuskan kita mengganti shalat.
Mengapa?
Coba perhatikan pengandaian berikut ini. Seandainya nanti di akhirat ternyata yang benar adalah pendapat yang tidak mengharuskan untuk mengganti, sebagaimana pendapat madzhab Hanafi, sementara kita sudah terlanjur mengganti, tentu tidak ada resiko apa-apa. Malah kita akan dapat untung, karena kita dapat pahala shalat sunnah.
Sebaliknya, kalau yang benar ternyata kita harus mengganti shalat, sebagaimana pendapat kalangan madzhab Syafi'i, padahal kita tidak menggantinya, maka kecelakaanlah bagi kita. Badan kita akan dibakar api neraka Saqar karena meninggalkan shalat fardhu. Betapa ruginya kita kalau sampai hal itu terjadi.
Maka pilihan yang paling logis adalah memilih yang resikonya paling kecil, atau yang sama sekali tidak ada resikonya, yakni mengganti shalat.
Wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar